Constitutional Culture (Budaya Konstitusi)
Oleh : F. Harnowo
Adanya
konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan kekuasaan atau paham
konstitusionalisme. Konstitusionalisme bukan konsep statis, melainkan bersifat
dinamis yang berkembang seiring perkembangan masyarakat. Mark Tushnet
menenggarai konsep awal konstitusionalisme berhubungan dengan konsep liberalism
klasik yang perhatian utamanya adalah memastikan kekuasaan pemerintah tidak
disalahgunakan. Salah satu isinya menekankan jaminan hak-hak sipil dan politik.
Namun, pada abad ke-20 terjadi transformasi makna konstitusionalisme yang tidak
hanya menekankan jaminan hak-hak sipil dan politik, tapi juga mencantumkan
hak-hak ekonomi, social, dan budaya.
Mark Tushnet
mengatakan bahwa konstitusionalisme adalah sebuah athreshold concept (konsep
yang memiliki ukuran minimum). Artinya, ada syarat-syarat minimal tertentu yang
harus dipenuhi agar kekuasaan pemerintah dapat dibatasi. Namun, penerapan
syarat atau prinsip minimal konstitusionalisme akan berbeda-beda di tiap
Negara. Hal ini terkait hakikat isi konstitusionalisme sebagai suatu
kesepakatan atau consensus di antara rakyat. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa
jika kesepakatan umum itu runtuh, runtuh pula kekuasaan Negara yang
bersangkutan sehingga dapat menimbulkan perang saudara.
Konstitusi tidak
sama dengan konstitusionalisme. Suatu negara yang memiliki konstitusi belum
tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme. Akan tetapi, konstitusionalisme
menginginkan sebuah konstitusi yang terlegitimasi. Legitimasi tersebut terkait
dengan penerimaan norma-norma konstitusi oleh rakyat sebagai bagian proses
demokrasi. Dengan demikian, konsep-konsep konstitusionalisme lebih mencerminkan
konstitusionalisme demokratis (democratic
constitusionalism).
Sri Soemantri
mengatakan bahwa generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi
yang akan datang. Sementara itu, terkait dengan ketidaksempurnaan konstitusi,
Bagir Manan mengutip pendapat Morris yang menyadari ketidaksempurnaan
konstitusi Amerika Serikat dan menyerahkan kepada generasi berikutnya melalui
prosedur “amandement”. Kedua
pembahasan tersebut dapat diambil benang merah bahwa perubahan mendasar gagasan
konstitusionalisme di suatu negara selalu berujung penggantian atau perubahan
norma-norma konstitusional yang tercermin dalam konstitusi.
Wheare
mengatakan bahwa suatu konstitusi adalah hasil pergulatan kekuatan-kekuatan,
baik politik, ekonomi, dan sosial. Perubahan kekuatan-kekuatan ekonomi,
politik, atau sosial yang memengaruhi konstitusi akan menentukan isi
konstitusi.
Konstitusi dan
konstitusionalisme tidak hanya dapat dipahami oleh sudut pandang hukum. Hal ini
karena pham konstitusionalisme yang tercermin dalam konstitusi merupakan hasil
kekutan-kekuatan yang berkembang di masyarakat pada masa tertentu. Hal ini
ditegaskan oleh Gagik Harutyunian bahwa konstitusi dan konstitusionalisme
adalah fenomena budaya (cultural
phenomena), yang telah berakar dalam sistem nilai yang saling terikat,
menawarkan pedoman bermasyarakat secara jelas dan merupakan persepsi masyarakat
yang komprehensif dan tertanam di dalam pikiran (comprehensive and cognizance). Harutyunian menekankan pada budaya
konstitusi (constitutional culture)
dan pengaruhnya terhadap model dan strategi demokrasi konstitusional yang
dipilih.
Budaya
konstitusi merupakan objek kajian berbagai disiplin ilmu, misalnya, ilmu
politik dan ilmu hukum. Dalam ilmu politik, budaya konstitusi dianggap sebagai
bagian budaya politik dan budaya warga (political
and civic culture) serta menyangkut perilaku-perilaku konstitusional
tertentu. Sementara itu, dalam kajian ilmu hukum, budaya konstitusi dianggap
sebagai bagian budaya hukum secara umum. Menurut Friedman, budaya hukum adalah
nilai-nilai dan perilaku yang mengikat suatu sistem secara bersamaan, yang
menentukan letak dari sistem hukum dalam budaya masyarakat sebagai
satu-kesatuan.
Sementara itu, Cheryl Saunders mengatakan bahwa budaya
konstitusi adalah asumsi-asumsi yang mendasari sebuah konstitusi dan perilaku
yang memengaruhi pelaksanaan konstitusi tersebut dalam praktik. Budaya
konstitusi merupakan hasil pengalaman sejarah, pemikiran sifat yang dominan,
dan keadaan sosial ekonomi. Selanjutnya, Saunders menekankan pada kompleksitas
budaya ketika sistem beberapa aspek ketatanegaraan negara tertentu
ditransplantasikan suatu negara ke negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar