Jumat, 09 Maret 2012

Constitutional Culture (Budaya Konstitusi)


Constitutional Culture (Budaya Konstitusi)

Oleh : F. Harnowo

Adanya konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan kekuasaan atau paham konstitusionalisme. Konstitusionalisme bukan konsep statis, melainkan bersifat dinamis yang berkembang seiring perkembangan masyarakat. Mark Tushnet menenggarai konsep awal konstitusionalisme berhubungan dengan konsep liberalism klasik yang perhatian utamanya adalah memastikan kekuasaan pemerintah tidak disalahgunakan. Salah satu isinya menekankan jaminan hak-hak sipil dan politik. Namun, pada abad ke-20 terjadi transformasi makna konstitusionalisme yang tidak hanya menekankan jaminan hak-hak sipil dan politik, tapi juga mencantumkan hak-hak ekonomi, social, dan budaya.
Mark Tushnet mengatakan bahwa konstitusionalisme adalah sebuah athreshold concept (konsep yang memiliki ukuran minimum). Artinya, ada syarat-syarat minimal tertentu yang harus dipenuhi agar kekuasaan pemerintah dapat dibatasi. Namun, penerapan syarat atau prinsip minimal konstitusionalisme akan berbeda-beda di tiap Negara. Hal ini terkait hakikat isi konstitusionalisme sebagai suatu kesepakatan atau consensus di antara rakyat. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa jika kesepakatan umum itu runtuh, runtuh pula kekuasaan Negara yang bersangkutan sehingga dapat menimbulkan perang saudara.
Konstitusi tidak sama dengan konstitusionalisme. Suatu negara yang memiliki konstitusi belum tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme. Akan tetapi, konstitusionalisme menginginkan sebuah konstitusi yang terlegitimasi. Legitimasi tersebut terkait dengan penerimaan norma-norma konstitusi oleh rakyat sebagai bagian proses demokrasi. Dengan demikian, konsep-konsep konstitusionalisme lebih mencerminkan konstitusionalisme demokratis (democratic constitusionalism).
Sri Soemantri mengatakan bahwa generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang. Sementara itu, terkait dengan ketidaksempurnaan konstitusi, Bagir Manan mengutip pendapat Morris yang menyadari ketidaksempurnaan konstitusi Amerika Serikat dan menyerahkan kepada generasi berikutnya melalui prosedur “amandement”. Kedua pembahasan tersebut dapat diambil benang merah bahwa perubahan mendasar gagasan konstitusionalisme di suatu negara selalu berujung penggantian atau perubahan norma-norma konstitusional yang tercermin dalam konstitusi.
Wheare mengatakan bahwa suatu konstitusi adalah hasil pergulatan kekuatan-kekuatan, baik politik, ekonomi, dan sosial. Perubahan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, atau sosial yang memengaruhi konstitusi akan menentukan isi konstitusi.
Konstitusi dan konstitusionalisme tidak hanya dapat dipahami oleh sudut pandang hukum. Hal ini karena pham konstitusionalisme yang tercermin dalam konstitusi merupakan hasil kekutan-kekuatan yang berkembang di masyarakat pada masa tertentu. Hal ini ditegaskan oleh Gagik Harutyunian bahwa konstitusi dan konstitusionalisme adalah fenomena budaya (cultural phenomena), yang telah berakar dalam sistem nilai yang saling terikat, menawarkan pedoman bermasyarakat secara jelas dan merupakan persepsi masyarakat yang komprehensif dan tertanam di dalam pikiran (comprehensive and cognizance). Harutyunian menekankan pada budaya konstitusi (constitutional culture) dan pengaruhnya terhadap model dan strategi demokrasi konstitusional yang dipilih. 
Budaya konstitusi merupakan objek kajian berbagai disiplin ilmu, misalnya, ilmu politik dan ilmu hukum. Dalam ilmu politik, budaya konstitusi dianggap sebagai bagian budaya politik dan budaya warga (political and civic culture) serta menyangkut perilaku-perilaku konstitusional tertentu. Sementara itu, dalam kajian ilmu hukum, budaya konstitusi dianggap sebagai bagian budaya hukum secara umum. Menurut Friedman, budaya hukum adalah nilai-nilai dan perilaku yang mengikat suatu sistem secara bersamaan, yang menentukan letak dari sistem hukum dalam budaya masyarakat sebagai satu-kesatuan.       
Sementara itu, Cheryl Saunders mengatakan bahwa budaya konstitusi adalah asumsi-asumsi yang mendasari sebuah konstitusi dan perilaku yang memengaruhi pelaksanaan konstitusi tersebut dalam praktik. Budaya konstitusi merupakan hasil pengalaman sejarah, pemikiran sifat yang dominan, dan keadaan sosial ekonomi. Selanjutnya, Saunders menekankan pada kompleksitas budaya ketika sistem beberapa aspek ketatanegaraan negara tertentu ditransplantasikan suatu negara ke negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar