Hak Menyatakan Pendapat DPR sebagai Implementasi
Fungsi Pengawasan terhadap Pemerintah menurut UUD
1945
Dalam
negara demokrasi, pembagian atau pemisahan kekuasaan menjadi hal yang sudah
seharusnya terjadi. Seperti diteorikan oleh John Locke yang dikembangkan oleh
Monteqiueu, pembagian atau pemisahan kekuasaan dalam negara demokrasi meliputi
kekusaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan federatif atau
yudikatif. Kekuasaan eksekutif memegang peranan secara langsung penyelenggaraan
negara atau dapat disebut sebagai eksekutor peraturan perundang-undangan. Sementara
itu, dua kekuasaan lain bersifat sebagai penopang dan penjaga kekuasaan
pemerintahan. Legslatif berwenang membentuk undang-undang, sedangkan yudikatif
berfungsi sebagai pengadil atas dugaan pelanggaran dalam melaksanakan peraturan
perundang-undangan.
Legislatif
merupakan lembaga negara yang paling memperlihatkan adanya karakter negara
demokrasi dalam suatu negara. Seperti diketahui, demokrasi merupakan konsep
yang mencirikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh, dan untuk rakyat.
Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu
rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya
menyelenggarakan kehidupan kenegaraan.[1]
Namun, dalam negara demokrasi modern, metode dalam melaksanakan konsep demokrasi
mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan dan pertambahan populasi
dalam suatu negara. Semakin banyak rakyat dalam suatu negara mendorong
dibentuknya lembaga perwakilan yang dihuni oleh beberapa orang dari rakyat
sebagai wakil rakyat yang berposisi di pemerintahan.
Lembaga
wakil rakyat memilki nama yang berbeda di masing-masing negara. Perbedaan nama itu
terkait dengan sistem pemerintahan yang diterapkan oleh negara yang
bersangkutan sehingga berimbas pula kepada tugas dan kewenangan lembaga rakyat
tersebut. Seperti diketahui, saat ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu
parlementer dan presidensiil. Lembaga wakil rakyat di sistem parlementer biasa
disebut sebagai Parlemen yang daimbil dari istilah Prancis, Parler, yang artinya berbicara. Dalam
sistem presidensiil, lembaga wakil rakyat disebut Badan Legislatif sesuai
dengan fungsinya sebagai pembuat legislasi.
Indonesia
yang menganut sistem presidensiil menyebut lembaga wakil rakyat dengan istilah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan yang diberikan oleh perubahan I UUD
1945 tertanggal 19 Oktober 1999 pada DPR dalam melaksanakan fungsinya adalah
kekuasaan membentuk undang-undang sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 ayat
(1).[2]
Kekuasaan DPR menjadi semakin luas dan bervariasi dengan dicantumkannya pasal
20A ayat (1) pada perubahan II UUD 1945 yang menegaskan bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.[3]
Artinya, kekuasaan legislasi, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control) berada pada Dewan Perwakilan
Rakyat.[4]
Dalam melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, lembaga DPR diberikan hak-hak oleh
pasal 20A perubahan II UUD 1945 berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. Ketiga hak tersebut berkaitan erat dengan pengawasan
terhadap pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh Presiden dan Wakil Presiden
sehingga banyak pengamat memperkirakan apabila hak-hak tersebut digunakan oleh
DPR terhadap Pemerintah, akan berakibat kepada impeachment (pemakzulan) Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Pengertian
hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat DPR disebutkan di
dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Pasal 77 ayat (2) mengartikan hak interpelasi sebagai hak DPR untuk
meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Hak angket diartikan sebagai hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/ atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 ayat (3).
Sementara itu, pasal 77 ayat (4) menyebutkan bahwa hak menyatakan pendapat adalah
hak DPR untuk menyatakan pendapat atas
a.
kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah
air atau di dunia internasional;
b.
tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c.
dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dari
ketiga macam hak DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah tersebut,
dapat dilihat bahwa hak menyatakan pendapat memiliki pengertian yang lebih
banyak daripada hak interpelasi dan hak angket. Pengertian yang mencakup tiga
poin tersebut bukan tanpa sebab, melainkan mempunyai keistimewaan ketika hak
tersebut digunakan oleh DPR. Pengamat hukum tatanegara, Irman Putra Sidin,
menilai hak menyatakan pendapat sebagai instrumen untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden/ Wakil Presiden.[5]
Dalam kasus Bank Century, misalnya, beberapa anggota DPR yang terdiri atas tim
pengusul Hak Angket Century sedang menghimpun dukungan suara mayoritas agar hak
menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus itu. Keinginan
menggunakan hak tersebut terkait dengan belum tuntasnya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mengusut kasus dana talangan senilai 6, 7 triliun rupiah yang
diduga melibatkan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang sekarang menjabat
Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono, dan mantan Menteri Keuangan yang
sekarang menjabat salah satu DIrektur Bank Dunia, Sri Mulyani.
Di
sisi lain, beberapa anggota lain DPR menyatakan bahwa hak menyatakan pendapat
belum layak digunakan untuk saat ini dalam kasus Bank Century. Penggunaan hak
menyatakan pendapat dalam kasus Bank Century hanya akan mereduksi kekuatan
mengikat hak tersebut sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap
Pemerintah sebagaimana yang dikatakan oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso,
di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 25 Agustus 2011. Menurut Priyo, DPR memang
memiliki hak untuk menyatakan pendapat dan hal itu merupakan senjata pamungkas
wakil rakyat, tapi tidak berarti senjata itu harus selalu digunakan.[6]
Priyo khawatir, hak menyatakan pendapat akan berujung pada pemakzulan.[7]
Bagi
para anggota DPR yang mengusung hak menyatakan pendapat, penggunaan hak
tersebut tidak akan selalu berujung pemakzulan. Wakil Ketua Umum Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Lukman Hakim Syaefuddin mengatakan Hak Menyatakan
Pendapat terkait kasus bailout Bank
Century tidak selalu berujung pada upaya pemakzulan Presiden atau Wakil
Presiden.[8]
Meskipun
banyak pengamat berpandangan berbeda tentang imbas penggunaan hak menyatakan
pendapat oleh DPR, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 telah memberikan aturan
mekanisme yang harus dilakukan dalam mengeluarkan hak menyatakan pendapat.
Salah satu prosedurnya adalah masalah kuorum yang harus dipenuhi apabila hak
menyatakan pendapat DPR ingin disetujui. Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 menyebutkan bahwa hak menyatakan pendapat diusulkan oleh paling
sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR. Sementara itu, ayat (2) menyebutkan
bahwa pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a.
materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat;
b.
materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 ayat (4) huruf b; atau
c.
materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c atau
materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c.
Namun,
ayat (4) Pasal 184 telah dibatalkan setelah adanya permohonan uji materi pasal
tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 23 dan 26/PUU-VII/2010 yang
mengabulkan uji materi Pasal 184 ayat (4) telah memberikan kelonggaran kepada
DPR dalam mengajukan hak menyatakan pendapat. Sebelum dihapus, Pasal 184 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
“Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat
DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling
sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil
dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR
yang hadir.”
Putusan
MK tersebut mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
yang diajukan oleh sejumlah anggota DPR seperti Lily Chadidjah Wahid, Bambang
Soesatyo, dan Akbar Faizal. MK berpendapat bahwa menurut sistem ketatanegaraan
Indonesia, hak menyatakan pendapat ada yang bersifat umum (lex generalis) sebagaimana diatur dalam Pasal 20A perubahan II UUD
1945 dan ada yang bersifat khusus (lex
specialis) sebagaimana diatur dalam Pasal 7B perubahan III UUD 1945
tertanggal 9 November 2001. Mekanisme pengambilan keputusan pendapat DPR
menurut Pasal 7B perubahan III UUD 1945 dilakukan dalam sidang paripurna yang
dihadiri paling sedikit 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3
anggota DPR yang hadir. Sementara itu, menurut MK, Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 mengatur semua jenis hak menyatakan pendapat, baik
berdasarkan Pasal 20A perubahan II UUD 1945 (lex generalis) maupun Pasal 7A dan Pasal 7B perubahan III UUD 1945
(lex specialis). Semua jenis hak itu
mencakup hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah, kejadian
luar biasa, tindak lanjut hak interpelasi dan hak angket, serta dugaan Presiden
dan/ atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum.
Karena
itu, MK menilai Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
bertentangan dengan Pasal 7B ayat (3) perubahan III UUD 1945, yang menyatakan
usul pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden ke MK harus memperoleh 2/3
dukungan dari jumlah anggota DPR yang hadir. MK beralasan, Pasal 184 ayat (4)
memunculkan penambahan syarat quorum dari 2/3 menjadi 3/4 maupun syarat
persetujuan keputusan DPR . Aturan tersebut tentu akan lebih mempersulit
pelaksanaan hak menyatakan pendapat, khususnya hak usul pemberhentian Presiden
dan Wakil Presiden ke MK. Dengan sendirinya, pasal tersebut akan mempersulit
pelaksanaan hak dan kewenangan konstitusional DPR.
Menurut
MK, Ketentuan tersebut juga bisa mengakibatkan DPR tidak efektif melaksanakan
fungsi pengawasan terhadap Presiden sehingga tidak sejalan dengan sistem checks and balances yang dianut dalam UUD
1945. Lebih tegas, MK menyatakan bahwa aturan itu dapat mengakibatkan
terjadinya pelanggaran dalam proses kontrol terhadap Presiden dan Wakil
Presiden yang merupakan pelemahan terhadap demokrasi.
Hal
lain yang harus diperhatikan dalam ketatanegraan Indonesia saat ini adalah
masalah Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi partai pendukung Pemerintah.
Adanya Setgab bisa menggagalkan terjadinya kuorum yang diinginkan di parlemen
untuk mengajukan hak menyatakan pendapat walaupun dalam sistem Presidensiil
tidak dikenal adanya koalisi dan oposisi partai. Apabila kuorum tidak
terpenuhi, hasil pernyataan pendapat DPR tidak bisa dilimpahkan ke MK atau
lembaga-lembaga pengadilan lain sehingga mengakibatkan anomali terhadap
penerapan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Penggunaan
hak menyatakan pendapat oleh DPR sebenarnya sudah terjadi sejak dimulai
Amandemen UUD 1945 atau ketika masa Reformasi bergulir. Undang-Undang yang
mengatur susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD saat itu, Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1999, telah mencantumkan adanya mekanisme untuk menggunakan hak
menyatakan pendapat sebagai pengawasan terhadap Pemerintah. Sebagai contoh, penggunaan
hak menyatakan pendapat DPR dalam masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999 –
2001). Dalam waktu 1999 – 2000, sejumlah anggota (252 anggota) DPR telah
mengusulkan penggunaan hak mengajukan pernyataan sebagaimana diatur dalam
Peraturan tatatertib DPR RI Pasal 156 – 165.[9]
Hal ini setelah mendengar, membaca, dan mempelajari secara seksama terhadap
hal-hal berikut.[10]
- Keterangan Presiden RI terhadap permintaan keterangan DPR, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 20 Juli 2000;
- Jawaban Presiden terhadap pendapat, pengusul, dan anggota DPR yang disampaikan secara tertulis melalui surat Nomor R-46/Pres/7/2000 perihal jawaban atas pernyataan/ tanggapan para anggota DPR tertanggal 21 Juli 2000.
Atas
dasar hal tersebut, disampaikan penilaian dan pertimbangan sebagai berikut.[11]
- Menghargai sikap Presiden yang telah hadir untuk memberi keterangan terhadap permintaan keterangan DPR;
- Dalam pemberian keterangan tersebut, Presiden belum memberikan jawaban atas substansi pertanyaan yang diajukan oleh DPR. Hal ini dapat diartikan Presiden tidak secara sungguh-sungguh memerhatikan suara DPR sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945 dan Tap MPR No. III/MPR/1978. Di samping itu, dengan tidak dijawabnya pertanyaan pokok tentang tuduhan KKN terhadap Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, memberikan kesan tidak baik terhadap Presiden.
- Dalam keterangannya, Presiden terkesan berupaya mengalihkan terhadap substansi masalah yang dipertanyakan ke substansi lainnya sehingga menimbulkan masalah baru, yaitu gugatan terhadap hak DPR untuk meminta keterangan kepada Presiden dan hak angket. Hal ini menimbulkan kesan Presiden tidak sungguh-sungguh berkehendak untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 yang menegaskan adanya hak meminta keterangan kepada Presiden oleh DPR;
- Berdasarkan butir 2 dan 3, Presiden dianggap telah mengabaikan sumpah jabatan yang menegaskan keharusan Presiden untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 UUD 1945;
- Memahami dan menghargai permohonan maaf Presiden yang disampaikan melalui surat bersifat rahasia No. R-46/ Pres/ 7/ 2000 tanggal 21 Juli 2000. Namun, permohonan maaf tersebut hanya ditujukan untuk semua akibat yang seharusnya tidak perlu terjadi berdasarkan pertimbangan adanya kebutuhan dari anggota DPR, tetapi belum menyentuh substansi yang menjadi latar belakang diajukannya hak meminta keterangan kepada Presiden;
- Menghargai kesediaan Presiden untuk memberikan keterangan lebih lanjut mengenai konsultasi Pimpinan DPR dengan Presiden. Namun, apabila langkah tersebut ditempuh, tidak boleh mengabaikan mekanisme formal yang berlaku, yaitu dilakukannya penyelesaian melalui Rapat Paripurna DPR.
Berdasarkan
penilaian tadi, para pengusul mengajukan hak menyatakan pendapat sebagai
berikut.[12]
- Memahami dan menerima permintaan maaf Presiden yang disampaikan dalam jawaban tertulis;
- Selanjutnya pengusul meminta:
(1) Presiden
lebih cermat dan berhati-hati mengambil kebijakan;
(2) Presiden
tidak lagi mengeluarkan pernyataan-pernyataan tanpa dasar dan bersifat kontroversial;
Hal ini disampaikan karena dianggap dapat menimbulkan reaksi pasar yang
negatif, keresahan masyarakat, kebingungan, serta mengarah kepada timbulnya
pertentangan di antara masyarakat;
(3) Presiden
hendaknya melakukan klarifikasi terlebih dahulu setiap menerima informasi dari
pihak manapun sebelum mengambil keputusan maupun membuat pernyataan yang akan
disampaikan kepada publik;
(4) Presiden,
dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya memegang teguh UUD 1945 dan senantiasa
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya,
memerhatikan sungguh-sungguh suara DPR, serta melaksanakan setulus-tulusnya
sumpah jabatan Presiden;
(5) Presiden
perlu memberikan keterangan lebih lanjut tentang masalah pokok, yaitu mengenai
tuduhan terhadap Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla guna menghapus kesan bahwa
Presiden telah melakukan fitnah dan kebohongan politik. Dengan demikian,
diusulkan agar substansi permasalahan yang terkait dengan penyelesaian hak
meminta keterangan Presiden hendaknya dilakukan melalui cara-cara yang sesuai
dengan aturan dan mekanisme yang berlaku, bersifat terbuka untuk memelihara
akuntabilitas publik, dan apabila dipandang perlu, dapat menghadirkan
pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla;
(6) Menyerukan
semua pihak untuk memercayakan masalah ini kepada mekanisme konstitusional
sebagai upaya membangun kehidupan demokrasi seraya menghindari
tindakan-tindakan yang dapat memerkeruh keadaan agar bangsa Indonesia segera
mewujudkan tuntutan reformasi menuju Indonesia Baru.
Berdasarkan
uraian di atas, hak menyatakan pendapat telah menjadi instrumen yang sangat
penting untuk lembaga DPR dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintah. Sejak
dicantumkannya hak-hak lembaga DPR dalam UUD 1945 perubahan, hak menyatakan
pendapat menjadi salah satu kekuatan DPR sebagai wakil rakyat dalam memberikan
tekanan kepada Pemerintah agar menjalankan pemerintahan dengan benar dan baik
sesuai amanah konstitusi.
Akan
tetapi, masih terjadi polemik dalam lembaga DPR itu sendiri untuk menentukan
seberapa besar tingkat kegentingan tentang penggunaan hak menyatakan pendapat
terhadap Pemerintah. Sebagaimana pernyataan Priyo Budi Santoso tentang kasus
Century di atas, ada sebagian anggota DPR yang masih mempertanyakan usaha
anggota DPR yang lain untuk menggunakan hak menyatakan pendapat terhadap kasus
itu. Hal itu juga terkait dengan kedudukan hak menyatakan pendapat DPR itu
sendiri dan implikasinya terhadap pemakzulan Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Untuk itu, perlu dilakukan telaah terlebih dahulu terhadap UUD 1945 perubahan
yang diturunkan ke dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
[1] Jimly
Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM, Kontitusi
Press, Jakarta, Cetakan Kedua, Juli 2005.
[2] Sebelum
perubahan pertama UUD 1945 atau dalam teks aslinya, DPR hanya berwenang
memberikan persetujuan atas undang-undang yang dibentuk oleh Presiden
sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat (1).
[3] Jika
diperhatikan, ketentuan pasal 20A ayat (1) sedikit bertentangan dengan pasal 20
ayat (1) dalam hal kekuasaan DPR. Bagir Manan dalam komentarnya menyatakan
bahwa “tidak dapat diketahui secara pasti maksud yang ingin dicapai dari
ketentuan pasal 20A ayat (1) karena ketentuan ini bukan saja overlapping, tetapi juga menimbulkan
kerancuan. (Lihat di Bagir Manan, DPD, DPR dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII
Press, Yogyakarta, 2003, hlm 33).
[4] Jimly
Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pascareformasi, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, Cetakan
Pertama, Mei 2010, hlm. 116.
[5] http://
www.inilah.com/7/9/2011,
didownload pada 10 Desember 2011.
[6] http://
www.okezone.com/25/8/2011, 12:36 WIB didownload
pada 10 Desember 2011.
[7] Ibid.
[9] La Ode
Husen, Hubungan Fungsi Pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksaan Keuangan dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, CV Utomo, Bandung, Cetakan Pertama, Mei 2005, hlm. 223.
Peraturan Tatatertib DPR RI tersebut adalah Peraturan Tatatertib DPR RI Periode
1999 – 2004. Untuk Peraturan Tatatertib terbaru DPR RI Periode 2009 – 2014,
tatacara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam Pasal 171 – 176
(Lihat di http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib).
[10]
La Ode Husen, ibid.
[11]
La Ode Husen, ibid, hlm. 223 – 224.
[12]
La Ode Husen, ibid, hlm. 224 – 226.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar