Hukum Konstitusi
A. Peristilahan
Istilah “Hukum
Tata Negara” dapat dianggap identik dengan pengertian “Hukum Konstitusi” yang
merupakan terjemahan langsung perkataan Constitutional
Law (Inggris), Droit Constitutionnel
(Prancis), Diritto Constitutionale
(Italia), atau Verfassungsrecht
(Jerman). Dalam bahasa Inggris, istilah Constitutional Law, memang biasa
diterjemahkan sebagai “Hukum Konstitusi”. Namun, istilah “Hukum Tata Negara”
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, niscaya perkataan yang digunakan
adalah Constitutional Law.
Di antara para
ahli hukum, ada pula yang berusaha membedakan kedua istilah ini dengan
menganggap bahwa istilah Hukum Tata Negara itu lebih luas cakupan pengertiannya
daripada istilah Hukum Konstitusi. Hukum Konstitusi diaanggap lebih sempit
karena hanya membahas hukum dalam perspektif teks undang-undang dasar,
sedangkan Hukum Tata Negara tidak hanya terbatas pada undang-undang dasar.
Pembedaan ini sebenarnya terjadi karena kesalahan dalam mengartikan perkataan
konstitusi (verfassung) itu sendiri
yang seakan-akan diidentikkan dengan undang-undang dasar (grundgesetz). Karena kekeliruan tersebut, Hukum Konstitusi dipahami
lebih sempit daripada Hukum Tata Negara.
Dalam bahasa
Jerman dibedakan antara istilah grondrecht
(hak dasar), verfassung, dan grundgezet. Dalam bahasa Belanda juga
dibedakan antara grondrecht (hak
dasar), constitutie, dan grondwet. Demikian pula, dalam bahasa
Prancis dibedakan antara droit
constitutionnelle dan loi
constitutionnelle. Istilah pertama identik dengan pengertian konstitusi,
sedangkan yang kedua adalah undang-undang dasar dalam arti konstitusi yang
tertuang dalam naskah tertulis. Untuk pengertian konstitusi dalam arti
undang-undang dasar, sebelum dipakai istilah grondwet, di Belanda pernah dipakai juga istilah staatsregeling. Atas prakarsa Gijsbert
Karel van Hogendorp pada 1813, istilah grondwet
dipakai untuk menggantikan istilah staatsregeling.
B. Pengertian Hukum Konstitusi
1. A.V. Dicey
Seperti yang
telah dikatakan di atas, peristilahan antara Hukum Konstitusi dan Hukum Tata
Negara memiliki kesamaan apabila diterjemahkan ke dalam bahasa di luar bahasa
Indonesia (Inggris, Belanda, Prancis, dan sebagainya). Karena itu, pengertian
hukum konstitusi menurut A.V. Dicey, dapat dianalogikan dengan Hukum Tata
Negara. Dalam bukunya yang berjudul “An
Intoduction to the Study of the Law of the Constitution”, A.V. Dicey
menyebutkan bahwa Hukum Tata Negara mencakup semua peraturan yang secara
langsung atau tidak langsung memengaruhi distribusi atau pelaksanaan kekuasaan
yang berdaulat dalam negara. Dalam hal ini, A.V. Dicey menitikberatkan mengenai
persoalan distribusi atau pembagian kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaan
tertinggi suatu negara. Semua aturan (rules)
yang mengatur hubungan-hubungan antarpemegang kekuasaan negara yang tertinggi
satu dengan yanglain disebut olehnya sebagai hukum tata negara atau constitutional law.
2. Sri Soemantri
Dalam
disertasinya, Prof. Sri Soemantri M. mengartikan konstitusi sama dengan
undang-undang dasar. Hal ini didasarkan bahwa dalam sejarahnya, konstitusi itu
dibuat dalam bentuk tertulis sebagai suatu kesepakatan antara rakyat dan raja
pada masa Romawi. Agar pihak-pihak yang menyepakati selalu ingat perjanjian
tersebut, dibuatlah dalam bentuk tertulis. Karena itu, Hukum Konstitusi
diartikan oleh Prof. Soemantri sebagai hukum tertulis yang saat ini terbentuk
dalam UUD.
3. C.F. Strong
Dalam bukunya
yang berjudul “Modern Political
Constitutins”, C.F. Strong menerangkan bahwa pemerintah dalam arti luas
harus mempunyai kekuasaan perundang-undangan (legislative power), kekuasaan pelaksanaan (executive power), dan kekuasaan peradilan (judicial power) yang dapat disebut sebagai tiga bagian pemerintahan
dan bersaama-sama menjelmakan kedaulatan dalam negara modern. Setelah itu ,
konstitusi dapat dirumuskan sebagai satu kumpulan prinsip yang mengatur
kekuasaan pemerintah, hak-hak rakyat, serta hubungan antara penguasa dan rakyat.
Yang menjadi tujuannya adalah mencegah perbuatan sewenang-wenang penguasa,
menjamin hak-hak rakyat, dan menetapkan pelaksanaan kedaulatan.
4. K.C. Wheare
Dalam bukunya
yang berjudul Modern Constitutions,
K.C. Wheare membedakan konstitusi dalam arti luas dan konstitusi dalam arti
sempit sebagai berikut.
“First of all it
(constitution) is used to describe the whole system of government of a country,
the collection of rules which establish and regulate or govern the government.
These rules are pertly legal, in the sense that courts of law will recognize
and apply them, and partly non-legal or extra legal, taking the form of usages,
understandings, customs, or conventions which couts do not recognize as law but
which are not less effective in regulating the government than the rules of law
strictly so called. In most countries of the world the system of government is
composed of this mixture of legal and nonlegal rules and it is possible to
speak of this collection of rules as the Constitutions.”
5. Wade and
Philips
Dalam bukunya
yang berjudul Constitutional Law, tahun 1939, Wade and Philips merumuskan “Constitutional law is ... body of rules which prescribes (a) the
structure, (b) the functions of the organs of central and
local government”. Dalam buku yang sama, terbitan tahun 1960, dinyatakan,”in the generally accepted of the term it
means the rules which regulate the structure of the principal organs of
government and their relationship to each other, and determine their principal functions”.
C. Peristilahan dan Pengertian Konstitusi
Dari catatan
sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian
konstitusi sekarang, yaitu perkataan Yunani Kuno, politeia, dan perkataan bahasa
latin, constitutio, yang juga
berkaitan dengan kata jus. Kedua
perkataan, politeia dan constitutio itulah awal gagasan
konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara
kedua istilah dalam sejarah. Dari kedua istilah itu, kata politeia dari
kebudayaan Yunani dapat disebut yang paling tua usianya.
Dalam bahasa
Yunani kuno tidak dikenal adanya istilah yang mencerminkan pengertian kata jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi Romawi yang datang kemudian. Menurut
Charles Howard Mcllwain, dalam bukunya yang berjudul Constitutionalism : Ancient
and Modern (1947), perkataan constitution
pada zaman Kekaisaran Romawi (Roman
Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan sebagai istilah
teknis untuk menyebut the acts of
legislation by the Emperor. Bersamaan dengan banyak aspek hukum Romawi yang
dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, istilah teknis constitution juga dipinjam untuk
menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun
untuk beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena
itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum Gereja (Kanonik) itulah yang sering
dianggap sebagai sumber rujukan atau referensi paling awal mengenai penggunaan
perkataan constitution dalam sejarah.
Secara
etimologis, antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan
“konstitusionalisme”, inti maknanya sama, tapi penggunaan katanya berbeda.
Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (UUD dan
sebagainya) atau UUD suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau
perilaku seseorang ataupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau
menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak
konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu paham
pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Dalam bahasa
Inggris, istilah constitution
memiliki padanan dengan perkataan grondwet
di dalam bahasa Belanda dan grundgesetz
di dalam bahasa Jerman. Grond,, dalam
bahasa Belanda, memiliki makna yang sama dengan grund dalam bahasa Jerman yang berarti “dasar”. Sementara itu, wet dan gesetz biasa diartikan undang-undang. Oleh karena itu, dalam bahasa
Indonesia, grondwet itu disebut
dengan istilah undang-undang dasar.
Meskipun begitu,
para ahli, pada umumnya sepakat bahwa pengertian kata konstitusi itu lebih luas
daripada undang-undang dasar. Sarjana Belanda seperti L.J. van Apeldoorn juga
menyatakan bahwa constitutie itu
lebih luaas daripada grondwet.
Menurut Apeldoorn, grondwet itu hanya
memuat bagian tertulis dari constitutie
yang mencakup juga prinsip-prinsip dan norma-norma dasar yang tidak tertulis.
Demikian pula di Jerman, verfassung
dalam arti konstitusi dianggap lebih luas pengertiannya daripada grundgesetz dalam arti undang-undang
dasar.
Sementara itu,
pengertian basic law dan fundamental law dapat pula diartikan dari setaip
katanya. Menurut Kamus Inggris Indonesia
yang dirangkum oleh John M. Echols, basic
diartikan sebagai (1) dasar dan (2) utama, sedangkan fundamental diartikan sebagai pokok atau asas. Di sisi lain, law memiliki arti : (1) hukum, (2) dalil,
(3) alat-alat hukum, dan (4) undang-undang.
Berdasarkan
rumusan Kamus tersebut, basic law
dapat memiliki arti hukum dasar atau undang-undang dasar. Hal ini
menindikasikan bahwa pengertian basic law
identik dengan undang-undang dasar yang memiliki bentuk tertulis. Sementara
itu, fundamental law, sesuai dengan
rujukan di atas, memiliki padanan arti hukum pokok atau undang-undang pokok.
Jika dikatakan sebagai undang-undang pokok, dapat diindikasikan bahwa hal itu
merujuk pada pengertian konstitusi secara tertulis. Namun, jika padanan kata
yang digunakan adalah hukm pokok, belum tentu konstitusi dianggap tertulis. Wallahualam bisahwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar