Jumat, 09 Maret 2012

TINJAUAN TERHADAP MATERI MUATAN UUD 1945 YANG DIBENTUK OLEH BPUPKI


TINJAUAN TERHADAP MATERI MUATAN UUD 1945 YANG DIBENTUK OLEH BPUPKI


 Oleh : Fajar H.

 A. PENDAHULUAN
Tidak ada satu negara pun di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Dengan kata lain, antara negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, ditetapkannya undang-undang dasar kemudian setelah adanya negara tidak berarti dapat dipisahkannya kedua lembaga tersebut.
Seperti negara-negara lain, Republik Indonesia juga memiliki undang-undang dasar atau konstitusi. Konstitusi Republik Indonesia tersebut ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Karena ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, konstitusi tertulis Indonesia dikenal dengan nama UUD 1945.
Undang-undang dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis dituangkan ke dalam sebuah dokumen formal. UUD yang ditetapkan oleh panitia persiapan kemerdekaan Indonesia itu dirancang oleh badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 29 Mei 1945. Konstitusi tertulis Indonesia itu berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dalam dua periode :
  1. Periode 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949;
  2. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Hanya saja, pada tahun 1998, UUD 1945 mengalami amandemen sehingga mengubah beberapa ketentuan di dalamnya. Dengan kata lain, undang-undang dasar yang digunakan sekarang adalah UUD 1945 yang telah diamandemen.
Pembentukan UUD 1945 oleh BPUPKI dilakukan dalam dua kali sidang. Sidang pertama diadakan pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Sementara itu, sidang kedua diadakan pada tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945.[1] Selama masa sidang tersebut diperdebatkan hal-hal yang akan dicantumkan ke dalam UUD, baik di dalam pembukaan maupun di dalam batang tubuhnya. Sidang itu menghasilkan beberapa kategori seperti pernyataan tentang kemedekaan, pembentukan negara dan struktur kenegaraan, perekonomian, hukum, dan pasal yang melegalkan perubahan UUD sendiri. Meskipun begitu, dalam sidang itu pula tidak dihasilkan beberapa hal yang seharusnya ada di dalam UUD. Sebagai contoh adalah UUD yang dibentuk oleh BPUPKI tidak mencantumkan secara konkret pasal tentang pengaturan hak asasi manusia (HAM). Padahal, hal itu perlu diatur karena di dalam pembukaannya dicantumkan pernyataan tentang HAM. Secara teori sendiri, Mr. J.G. Steenbeek mengemukakan bahwa seharusnya konstitusi suatu negara berisi tiga hal yang salah satunya adalah adanya penjaminan terhadap hak asasi manusia terhadap warga negaranya. Karena itu, sudah selayaknya hal itu dikemukakan.
Selain permasalahan tentang pengaturan HAM di dalam UUD 1945 bentukan BPUPKI, masih banyak masalah lain yang perlu ditinjau lebih lanjut terhadap proses pembentukan konstitusi tersebut seperti waktu kerja yang singkat. Karena itu, penulis mencoba menganilisis hal ini di dalam sebuah artikel yang berjudul Tinjauan terhadap Materi Muatan Undang-Undang Dasar 1945 yang Dibentuk oleh BPUPKI.  

B. PERSIDANGAN BPUPKI
Seperti diungkapkan di atas, BPUPKI mengadakan sidang-sidangnya pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945 untuk membentuk UUD. Sidang-sidang tersebut terbagi dalam dua bagian. Sidang pertama diadakan pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945.

1. Sidang Pertama BPUPKI (29 Mei 1945 - 1 Juni 1945)
Dalam sidang yang pertama, Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat, Ketua BPUPKI, meminta kepada para anggota agar menyampaikan pandangan-pandangannya tentang dasar-dasar negara Indonesia yang akan datang. Pendapat-pendapat tentang politik dan tentang ketatanegaraan dikemukakan dalam kesempatan ini. Para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang, duduk di dalamnya dan begitu bersemangat membahas tugas badan ini, khususnya mempersiapkan rancangan UUD apabila Inonesia merdeka. Tokoh-tokoh yang mengemukakan pendapatnya antara lain Ir. Soekarno, Mr. Muh. Yamin, dan Prof. Dr. Soepomo.[2] Di samping itu, masih ada tokoh lain yang juga ikut berpendapat dalam sidang itu seperti Drs. Moh. Hatta.[3]   
Dalam sidang pertama ini, Ir. Soekarno mengemukakan pidato yang kemudian menjadi pelopor lahirnya pancasila pada tanggal 1 Juni 1945. Untuk menanggapi permintaan Ketua Sidang BPUPKI tentang dasar Indonesia Merdeka, dia terlebih dahulu menjelaskan arti perkataan “merdeka”. Menurut pendapatnya, “merdeka adalah “political independence” yang tidak lain merupakan jembatan emas dengan disempurnakan masyarakat Indonesia.[4] Ir. Soekarno menyatakan sebagai berikut.
“Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, -macam-macam-, tetapi alangkah benarnya perkataan Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persatuan paham. Kita bersama-sama mencari “persatuan philosophische grondslag, mencari satu Weltanschauungyang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang saudara Ki Bagoes setujui, yang saudara Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanusi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu?

Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?

Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekayaan kepada satu golongan kaya, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak!

Baik saudara-saudara yang bernama kaum bang-sawan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya. Tetapi “semua buat semua” itulah salah satu dasar pemikiran yang nanti akan saya kupas lagi”.[5]    
Setelah itu, Ir. Soekarno mengemukakan serta menjelaskan dasar negara Indonesia yang dimaksud dan yang terdiri atas lima sila :
  1. kebangsaan Indonesia;
  2. internasionalisme atau perikemanusiaan;
  3. mufakat atau demokrasi;
  4. kesejahteraan sosial;
  5. ke-Tuhanan yang berkebudayaan.

Setelah sidang pertama berakhir, Ketua BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.[6] Tugas panitia tersebut adalah meneliti dan mempelajari usul-usul yang disampaikan oleh para anggota, melakukan inventarisasi, dan menyusunnya. Hasil laporan ini disampaikan dalam permulaan sidang kedua yang dimulai pada tanggal 10 Juli 1945. dalam laporan itu juga dikemukakan “rancangan pembukaan” yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan, yang oleh Muh. Yamin diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dan oleh Dr. Soekiman disebut gentlement agreement. Piagam Jakarta tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Hasil penelitian panitia kecil tersebut meliputi pokok-pokok masalah :
  1. permintaan Indonesia merdeka segera;
  2. tentang dasar negara;
  3. masalah unifikasi dan federasi;
  4. bentuk pemerintah dan kepala negara;
  5. tentang warga negara;
  6. masalah pemerintahan di daerah;
  7. masalah agama dalam hubungannya dengan negara;
  8. masalah pembelaan; dan
  9. masalah keuangan.[7]
Sesuai dengan pokok-pokok masalah yang telah disusun oleh panitia kecil, diusulkan agar BPUPKI mengambil keputusan terhadap empat hal :
  1. penetapan bentuk negara dan penyusunan Hukum Dasar Negara;
  2. meminta kepada Pemerintah Jepang untuk segera mengesahkan Hukum Dasar;
  3. meminta kepada Pemerintah Jepang agar diadakan Badan Persiapan segera yang tugasnya menyelenggarakan Negara Indonesia Merdeka di atas Hukum Dasar yang telah disusun;
  4. tentang pembentukan tentara kebangsaan dan tentang keuangan.[8]
Atas laporan tersebut, Ketua BPUPKI meminta kepada para anggota untuk memberi pandangan umumnya. Setelah itu, dilakukan pemungutan suara terhadap dua hal :
  1. apakah akan dianut bentuk pemerintah republik atau kerajaan;
  2. bagaimana batas wilayah negara Indonesia.

2. Sidang Kedua BPUPKI (10 Juli 1945 - 16 Juli 1945)
Pada sidang kedua BPUPKI, ketua membentuk tiga buah panitia sebagai kelanjutan pemandangan umum tanggal 10 Juli 1945. Panitia tersebut terdiri atas panitia perancang UUD, panitia pembelaan tanah air, dan panitia keuangan dari perekonomian.[9] Panitia perancang UUD mengadakan rapatnya pada tanggal 11 dan 13 Juli 1945. Dalam rapat pertama dihasilkan keputusan membentuk panitia perancang Declaration of rights yang terdiri atas Mr. A. Subardjo (ketua), Dr. Soekiman, dan parade Harahap masing-masing sebagai anggota. Di samping itu, dibentuk pula panitia kecil perancang UUD yang diketuai oleh Prof. Supomo. Panitia kecil ini mengadakan rapatnya pada tanggal 12 Juli 1945. Pada akhirnya, panitia kecil berhasil menyusun naskah rancangan UUD.
Naskah Rancangan UUD dibahas dalam rapat panitia perancang UUD yang diselenggarakan pada tanggal 13 Juli 1945. Akan tetapi, Naskah Rancancangan UUD hasil panitia perancang ternyata tidak memuat ketentuan perubahan UUD. Meskipun begitu, tetap ada pemikiran untuk memasukkan ketentuan perubahan UUD di dalam naskah. Sebagai bukti adalah adanya pidato Mr. S. Kolopaking[10] dalam sidang Paripurna BPUPK pada tanggal 11 Juli 1945.
Ada tiga hal yang dikemukakan oleh S. Kolopaking, yaitu
  1. UUD sebaiknya jangan terlalu panjang;
  2. UUD dapat disesuaikan dengan zaman;
  3. UUD harus mudah diubah.
Materi muatan tentang perubahan undang-undang dasar juga dikemukakan oleh Mr. Iwa Kusumasumantri yang menyatakan sebagai berikut.
            “Tuan-tuan yang hadir semua, yang terhormat! Berhubung pernyataan dari pimpinan, maka benarlah bahwa ini adalah suatu undang-undang dasar kilat. Akan tetapi, meskipun demikian ada syarat-syarat dari suatu undang-undang dasar, yang tidak boleh kita lupakan. Nanti saya kemukakan beberapa pasal, yang saya harap tidak akan menimbulkan perbantahan, karena maksudnya ialah untuk sedikit memperbaiki bangunannya saja.
Salah satu perubahan yang saya tambahkan, yang saya usulkan, yaitu tentang perubahan undang-undang dasar.  Di sini belum ada artikel tentang perubahan undang-undang dasar dan itu menurut pendapat saya masih perlu diadakan.”
            Pada tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI melanjutkan sidang paripurnanya. Dalam sidang ini, panitia perancang UUD menyampaikan hasil kerjanya. Laporan tersebut disampaikan, baik oleh panitia perancang maupun oleh panitia kecil perancang UUD.[11] Setelah melalui serangkaian sidang untuk membahas rancangan UUD itu, BPUPKI menerima dan menyetujui rancangan tersebut pada tanggal 16 Juli 1945.[12]     

C. ANALISIS PERSIDANGAN BPUPKI
Jika melihat jalannya persidangan BPUPKI dalam membentuk UUD, akan melihat suatu persidangan dengan penuh perdebatan. Secara umum, perdebatan tersebut terbagi atas dua golongan besar, yaitu golongan kebangsaan (nasionalis sekuler) dan golongan Islam (nasionalis religius).[13] Golongan-golongan tersebut menyertakan ideologi masing-masing untuk diterima ke dalam naskah rancangan UUD. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah seberapa jauh pemikiran-pemikiran yang mereka keluarkan mampu mengakomodasi kehendak seluruh rakyat Indonesia.
Seperti yang dikatakan oleh Ir. Soekarno di atas bahwa sasaran pendirian sebuah negara adalah “semua buat semua”. Hal ini berarti materi muatan yang terdapat di dalam konstitusi suatu negara harus mampu menyatukan atau mampu mengakomodasi kehendak seluruh rakyat, termasuk bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, A.A.H. Struycken mengatakan bahwa undang-undang dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi :[14]
  1. hasil perjuangan politik bangsa pada waktu yang lampau;
  2. tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
  3. pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
  4. suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
            Apabila teori yang dikemukakan oleh Struycken tersebut dikaitkan dengan pernyataan Ir. Soekarno tentang sasaran pendirian suatu negara, dapat dikatakan bahwa pernyataannya merupakan suatu pandangan seorang tokoh bangsa yang hendak diwujudkan. Dengan kata lain, pada hakikatnya, pernyataan Ir. Soekarno bukanlah kehendak keseluruhan rakyat Indonesia. Akan tetapi, hal itu dapat berubah seiring dengan keikutsertaannya sebagai  salah satu tokoh dalam perumusan tersebut. Pandangan-pandangannya secara otomatis mewakili kehendak rakyat meskipun mereka tidak mengetahuinya. Sebagai contoh adalah diterimanya gagasan tentang dasar negara Indonesia yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno dengan perincian isi seperti kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan. Dalam hal ini, ideologi Soekarno tentang demokrasi dan sosialisme mengiringi pendapatnya.
            Seperti dikatakan di bagian sebelumnya, persidangan pertama BPUPKI juga membicarakan bentuk yang tepat untuk pemerintahan dan batas wilayah negara Indonesia. Mengenai hal ini, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa setiap undang-undang dasar memuat ketentuan-ketentuan :
1. organisasi negara, misalnya, pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.
2. hak-hak asasi manusia.
3. prosedur mengubah undang-undang dasar.
4. adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar.[15]
            Poin pertama pendapat Miriam Budiardjo di atas dapat dijadikan suatu landasan dicantumkannya bentuk pemerintahan di dalam UUD 1945. Dalam hal ini, memang sudah selayaknya UUD 1945 memuat ketentuan bentuk pemerintahan agar tidak terjadi penyimpangan birokrasi. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana ketentuan-ketentuan tentang bentuk pemerintahan di dalam UUD 1945 tersebut mampu memberikan arahan secara nyata terhadap pelaksanaan suatu pemerintahan dan birokrasi. Sebaliknya, pengaturan yang tidak tegas tentang ketentuan bentuk pemerintahan akan mengakibatkan kerancuan dalam menilai apa-apa saja yang dapat dilakukan terhadap pemerintahan tersebut. Selain itu, pengaturan yang tidak konkret antara kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menimbulkan persinggungan kekuasaan yang pada akhirnya mengurangi legitimasi kekuasaan pemerintah pusat. Karena itu, konstitusi perlu mengaturnya secara tegas dan jelas.   
            Dalam sidang kedua BPUPKI, yang menjadi pokok pembahasan adalah tentang dicantumkannya pasal-pasal perubahan UUD 1945. Selain itu, dibahas pula efektivitas UUD agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Pembahasan mengenai harus adanya pasal yang mengatur perubahan UUD 1945 disampaikan oleh beberapa tokoh, salah satunya adalah Mr. S. Kolopaking. Seperti dikatakan di bagian sebelumnya bahwa beliau menjelaskan tiga hal sebagai argumen, yaitu UUD sebaiknya jangan terlalu panjang, UUD dapat disesuaikan dengan zaman, dan UUD harus mudah diubah. Berkaitan dengan ini, K.C. Wheare mengatakan bahwa sifat yang khas dan mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik adalah konstitusi itu harus dibuat sesingkat mungkin untuk menghindarkan keulitan-kesulitan para pembentuk UUD dalam memilih mana yang penting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana yang tidak perlu pada saat mereka akan merancang suatu UUD sehingga hasilnya akan dapat diterima, baik oleh mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang akan dilindungi oleh UUD tersebut.[16]
            Jika menilik pendapat K.C. Wheare tersebut, dimungkinkan bahwa pemikiran S. Kolopaking dapat dibenarkan. Akan tetapi, secara fakta, suatu konstitusi yang singkat justru dapat menimbulkan masalah, khususnya terhadap pihak yang dilindungi oleh UUD tersebut. Suatu konstitusi yang singkat dapat menimbulkan kesalahan tafsir terhadapnya, bahkan dapat menyebabkan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Penguasa akan mudah mengenakan sanksi kepada warga negaranya dengan alasan melindungi dan menyelamatkan UUD dari penistaan dan pemberontakan. Sebagai contoh adalah peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada saat itu, Soeharto sebagai pemimpin tertinggi dalam pemerintahan eksekutif, melalui kroni-kroninya, dapat memenjarakan, bahkan “menghilangkan” seseorang yang dianggap melawan kaidah-kaidah UUD 1945. Hal itu, berlangsung terus-menerus sehingga menimbulkan kecurigaan di kalangan para tokoh dan pemnerhati politik. Bahkan, spekulasi bermunculan dengan adanya pendapat bahwa itu merupakan strategi penguasa saat itu untuk melanggengkan kekuasaan.
Berkaitan dengan pernyataan pertama S. Kolopaking tersebut, Sri Soemantri juga berpendapat bahwa alasan anggota BPUPKI tersebut untuk mengusulkan hal itu kurang jelas karena yang dikemukakan tidak disertai dengan alasan-alasan. Kemungkinan sekali karena pembentukan undang-undang dasar itu terjadi dalam suasana peperangan. Di samping itu, ada keinginan untuk selekasnya merdeka.[17]  
            Pendapat kedua S. Kolopaking bahwa UUD dapat disesuaikan dengan zaman dapat dimengerti. Hal ini karena yang dituangkan ke dalam UUD tidak terlepas dari suasana pada waktu para pembentuknya hidup. Apalagi, yang disusun adalah hukum dasar tertulis. Karena adanya bermacam-macam faktor yang memengaruhi masyarakat, manusia selalu berkembang dan berubah. Dalam hal demikian, timbul hubungan-hubungan baru. Hal ini menyebabkan diperlukannya lembaga-lembaga baru yang sudah tentu harus dijelaskan di dalam UUD.
Sementara itu, pendapat ketiga S. Kolopaking bahwa UUD harus mudah diubah tidak dijelaskan lebih lanjut olehnya. Dengan kata lain, apakah berkaitan dengan prosedur perubahan atau adanya kemungkinan UUD dapat diubah. Akan tetapi, sesuai dengan pendapat Miriam Budiardjo, pengubahan terhadap UUD 1945 tidak boleh mengubah sifat-sifat tertentu dari UUD tersebut seperti kaidah-kaidah dasarnya. Hal ini dapat dimengerti karena peruahan terhadap sifat-sifat tertentu yang sudah menjadi pokok di dalam suatu negara akan mengubah garis besar arah bangsa yang bersangkutan. 
            Selain pembahasan mengenai hal-hal di atas, sidang BPUPKI juga mengetengahkan pembahasan hak-hak dasar seseorang. Akan tetapi, pembahasan ini hanya tercakup di dalam pembukaan, yaitu yang berbunyi “…penjajahan di atas dumia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan da perikeadilan.” Sementara itu, pengaturannya di dalam batang tubuh UUD 1945 itu sendiri tidak konkret. Hal ini bertentangan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi juga harus mencakup penjaminan terhadap hak asasi manusia (HAM). Tidak hanya pernyataan di dalam pembukaan, tetapi juga pengaturannya di dalam batang tubuh harus ada. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa suatu negara benar-benar telah secara resmi mengakui dan menghormati HAM dengan benar. Sebagai bukti tidak diaturnya HAM secara jelas di dalam UUD 1945 sebelum amandemen ini adalah menyangkut pasal 28. Pasal itu menyebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, diatur dengan undang-undang. Pernyataan pasal tersebut tidak memperlihatkan pengaturan secara tegas dan tidak menunjukkan adanya suatu hak yang asasi untuk seseorang. Karena itu, setelah reformasi, pasal tersebut diubah dan ditambah beberapa pasal dan ayat yang dapat mengatur secara tegas tentang HAM.              
Selain jalannya sidang BPUPKI, penulis juga ingin mengomentari waktu pelaksanaan sidang yang berlangsung hanya 49 hari. Penulis berpendapat bahwa waktu pelaksanaan sidang BPUPKI untuk menyusun dan membentuk rancangan UUD yang hanya 49 hari merupakan salah satu kendala dalam menetapkan materi muatan yang baik dengan benar sesuai pemahaman arah bangsa. Sebagai perbandingan adalah konstitusi Amerika Serikat (AS) yang dibuat dalam tempo kurang lebih sebelas tahun sejak merdeka pada tanggal 14 Juli 1776. Konstitusi tersebut baru terbentuk dan sah pada tanggal 1 Maret 1787. Dengan waktu yang sangat lama itu, AS mampu menyusun konstitusi yang mampu menyeimbangkan kekuasaan pemerintahan federal dan pemerintahan negara bagian. Perbandingan lain adalah konstitusi Uni Sovyet yang dibentuk dalam tempo 10 bulan sejak jatuhnya kekuasaan Tsar, yaitu 14 September 1917 – 10 Juli 1918.[18]
Lamanya waktu pembuatan memang bukanlah faktor utama terbentuknya aturan-aturan konstitusi yang baik. Akan tetapi, ketika dalam pembuatan konstitusi tersebut terdapat waktu yang mencukupi, para pementuknya akan dapat memanajemen atau pun mengatur secara sistematis tentang hal-hal yang perlu dicantumkan dalam konstitusi tersebut. Dengan begitu, masa berlaku konstitusi akan menjadi lebih lama dan ideal.
   
D. PENUTUP
Konstitusi merupakan suatu keniscayaan yang harus ada dalam suatu negara. Hal ini karena suatu negara tidak akan dapat berdaulat secara resmi dengan pengakuan dari dunia internasional apabila tidak ada ketentuan yang spesifik mengaturnya. Dalam hal adanya suatu konstitusi di dalam sebuah negara, tidak terlepas pula materi muatan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, semakin benar materi muatan yang didapat di dalam UUD, semakin baik ketaaan terhadap UUD tersebut.     
Di Indonesia, pembentukan UUD 1945 awal kemerdekaan dilakukan oleh BPUPKI. Badan tersebut melakukannya dalam dua kali sidang, yaitu pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 dan pada tanggal 10 Juli - 16 Juli 1945. Selama masa persidangan tersebut diperdebatkan hal-hal apa saja yang akan dicantumkan dalam UUD. Namun, perdebatan tersebut tidak terlepas adanya pengaruh ideologi yang diusung oleh para tokohnya. Bentuk negara, struktur kenegaraan, perubahan UUD, dan masalah HAM menjadi pokok dalam sidang-sidang tersebut. Khusus permasalahan HAM, ternyata tidak ada pasal yang menyatakannya secara tegas. Hal itu, menjadi konflik di dalam penyelenggaraan negara pada masa itu karena rakyat tidak mendapatkan perlindungan melalui UUD. Sebaliknya, materi muatan di dalam UUD 1945 sebelum amandemen tersebut justru menjadi alat penguasa untuk mencitrakan kekuasaannya. Para ahli hukum berpendapat bahwa penyalahgunaan dalam menafsirkan materi muatan UUD 1945 itu lebih disebabkan isinya yang terlalu singkat dan tidak tegas. Isi yang terlalu singkat ini ternyata dilatarbelakangi waktu persidangan yang singkat yang diberikan untuk merumuskan sumber hukum tertinggi di Indonesia tersebut. Dengan demikian, menimbulkan salah tafsir atau pun penafsiran secara sepihak oleh penguasa.    
                       







DAFTAR PUSTAKA

Soemantri, Sri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945, Alumni, Bandung, 2006.

Wheare, K.C., Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975.

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966 – 1993), Yogyakarta, 1999.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991.

Taib, Dahlan dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Idris, Irfan, Islam dan Konstitusionalisme, antonyLib, Yogyakarta, 2009.

Bahar, Saafroedin (tim penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara R.I., 1995.

Yamin, Muh., Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, 1959.





[1] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945, Alumni, Bandung, 2006, hlm 30 – 31.
[2] Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, 1959, hlm. 59.
[3] Muh. Yamin, ibid, hlm. 110.
[4] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945, Alumni, Bandung, 2006, hlm 31.
[5] Sri Soemantri, ibid, hlm. 31 – 32.

[6] Muh. Yamin, ibid, hlm. 147. Anggota-anggota panitia kecil terdiri atas Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutardjo, Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Mr. Muh. Yamin, dan Mr. A.A. Maramis.
[7] Sri Soemantri, ibid, hlm. 33 – 34.
[8] ibid, hlm. 34.
[9] Muh. Yamin, ibid, hlm. 250 – 254. Ketiga panitia tersebut diketuai masing-masing oleh Ir. Soekarno, Tjokrosujoso, dan Drs. Moh. Hatta.
[10] Muh. Yamin, ibid, hlm. 217 – 218.
[11] Sri Soemantri, ibid, hlm. 37 – 38. Dalam kesempatan ini telah berbicara 27 orang tokoh pergerakan kemerdekaan, baik dari golongan kebangsaan, golonan Islam, maupun golongan lain. Setelah mengalami suasana “panas” selama tiga hari sidang, 14 – 16 Juli 1945, Ketua BPUPK menyatakan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang Dasar dengan perubahannya diterima oleh sidang.  
[12] Uraian lengkap pembahasan dalam rapat BPUPKI dapat dibaca dalam Saafroedin Bahar, (tim penyunting), 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara R.I., hlm. 3 – 401.
[13] Masykuri Abdillah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966 – 1993), Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, hlm. 32.
[14] Sri Soemantri, ibid, hlm. 2.
[15] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 101.
[16] Dahlan Taib dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 18.
[17] Sri Soemantri, ibid, hlm. 36 – 37.

[18] ibid, hlm. 13 – 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar