Kamis, 15 Maret 2012
Jumat, 09 Maret 2012
Constitutional Culture (Budaya Konstitusi)
Constitutional Culture (Budaya Konstitusi)
Oleh : F. Harnowo
Adanya
konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan kekuasaan atau paham
konstitusionalisme. Konstitusionalisme bukan konsep statis, melainkan bersifat
dinamis yang berkembang seiring perkembangan masyarakat. Mark Tushnet
menenggarai konsep awal konstitusionalisme berhubungan dengan konsep liberalism
klasik yang perhatian utamanya adalah memastikan kekuasaan pemerintah tidak
disalahgunakan. Salah satu isinya menekankan jaminan hak-hak sipil dan politik.
Namun, pada abad ke-20 terjadi transformasi makna konstitusionalisme yang tidak
hanya menekankan jaminan hak-hak sipil dan politik, tapi juga mencantumkan
hak-hak ekonomi, social, dan budaya.
Mark Tushnet
mengatakan bahwa konstitusionalisme adalah sebuah athreshold concept (konsep
yang memiliki ukuran minimum). Artinya, ada syarat-syarat minimal tertentu yang
harus dipenuhi agar kekuasaan pemerintah dapat dibatasi. Namun, penerapan
syarat atau prinsip minimal konstitusionalisme akan berbeda-beda di tiap
Negara. Hal ini terkait hakikat isi konstitusionalisme sebagai suatu
kesepakatan atau consensus di antara rakyat. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa
jika kesepakatan umum itu runtuh, runtuh pula kekuasaan Negara yang
bersangkutan sehingga dapat menimbulkan perang saudara.
Konstitusi tidak
sama dengan konstitusionalisme. Suatu negara yang memiliki konstitusi belum
tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme. Akan tetapi, konstitusionalisme
menginginkan sebuah konstitusi yang terlegitimasi. Legitimasi tersebut terkait
dengan penerimaan norma-norma konstitusi oleh rakyat sebagai bagian proses
demokrasi. Dengan demikian, konsep-konsep konstitusionalisme lebih mencerminkan
konstitusionalisme demokratis (democratic
constitusionalism).
Sri Soemantri
mengatakan bahwa generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi
yang akan datang. Sementara itu, terkait dengan ketidaksempurnaan konstitusi,
Bagir Manan mengutip pendapat Morris yang menyadari ketidaksempurnaan
konstitusi Amerika Serikat dan menyerahkan kepada generasi berikutnya melalui
prosedur “amandement”. Kedua
pembahasan tersebut dapat diambil benang merah bahwa perubahan mendasar gagasan
konstitusionalisme di suatu negara selalu berujung penggantian atau perubahan
norma-norma konstitusional yang tercermin dalam konstitusi.
Wheare
mengatakan bahwa suatu konstitusi adalah hasil pergulatan kekuatan-kekuatan,
baik politik, ekonomi, dan sosial. Perubahan kekuatan-kekuatan ekonomi,
politik, atau sosial yang memengaruhi konstitusi akan menentukan isi
konstitusi.
Konstitusi dan
konstitusionalisme tidak hanya dapat dipahami oleh sudut pandang hukum. Hal ini
karena pham konstitusionalisme yang tercermin dalam konstitusi merupakan hasil
kekutan-kekuatan yang berkembang di masyarakat pada masa tertentu. Hal ini
ditegaskan oleh Gagik Harutyunian bahwa konstitusi dan konstitusionalisme
adalah fenomena budaya (cultural
phenomena), yang telah berakar dalam sistem nilai yang saling terikat,
menawarkan pedoman bermasyarakat secara jelas dan merupakan persepsi masyarakat
yang komprehensif dan tertanam di dalam pikiran (comprehensive and cognizance). Harutyunian menekankan pada budaya
konstitusi (constitutional culture)
dan pengaruhnya terhadap model dan strategi demokrasi konstitusional yang
dipilih.
Budaya
konstitusi merupakan objek kajian berbagai disiplin ilmu, misalnya, ilmu
politik dan ilmu hukum. Dalam ilmu politik, budaya konstitusi dianggap sebagai
bagian budaya politik dan budaya warga (political
and civic culture) serta menyangkut perilaku-perilaku konstitusional
tertentu. Sementara itu, dalam kajian ilmu hukum, budaya konstitusi dianggap
sebagai bagian budaya hukum secara umum. Menurut Friedman, budaya hukum adalah
nilai-nilai dan perilaku yang mengikat suatu sistem secara bersamaan, yang
menentukan letak dari sistem hukum dalam budaya masyarakat sebagai
satu-kesatuan.
Sementara itu, Cheryl Saunders mengatakan bahwa budaya
konstitusi adalah asumsi-asumsi yang mendasari sebuah konstitusi dan perilaku
yang memengaruhi pelaksanaan konstitusi tersebut dalam praktik. Budaya
konstitusi merupakan hasil pengalaman sejarah, pemikiran sifat yang dominan,
dan keadaan sosial ekonomi. Selanjutnya, Saunders menekankan pada kompleksitas
budaya ketika sistem beberapa aspek ketatanegaraan negara tertentu
ditransplantasikan suatu negara ke negara lain.
TINJAUAN TERHADAP MATERI MUATAN UUD 1945 YANG DIBENTUK OLEH BPUPKI
TINJAUAN TERHADAP MATERI MUATAN UUD 1945
YANG DIBENTUK OLEH BPUPKI
Oleh : Fajar H.
A. PENDAHULUAN
Tidak ada satu negara
pun di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang
dasar. Dengan kata lain, antara negara dan konstitusi merupakan dua lembaga
yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, ditetapkannya undang-undang dasar kemudian
setelah adanya negara tidak berarti dapat dipisahkannya kedua lembaga tersebut.
Seperti negara-negara
lain, Republik Indonesia
juga memiliki undang-undang dasar atau konstitusi. Konstitusi Republik Indonesia
tersebut ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah
Proklamasi Kemerdekaan. Karena ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945,
konstitusi tertulis Indonesia
dikenal dengan nama UUD 1945.
Undang-undang dasar
1945 sebagai konstitusi tertulis dituangkan ke dalam sebuah dokumen formal. UUD
yang ditetapkan oleh panitia persiapan kemerdekaan Indonesia itu dirancang oleh badan
penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 29 Mei 1945.
Konstitusi tertulis Indonesia
itu berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dalam dua periode :
- Periode 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949;
- Periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Hanya saja, pada tahun 1998, UUD 1945
mengalami amandemen sehingga mengubah beberapa ketentuan di dalamnya. Dengan
kata lain, undang-undang dasar yang digunakan sekarang adalah UUD 1945 yang
telah diamandemen.
Pembentukan UUD 1945 oleh
BPUPKI dilakukan dalam dua kali sidang. Sidang pertama diadakan pada tanggal 29
Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Sementara itu, sidang kedua diadakan
pada tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan tanggal 16 Juli 1945.[1]
Selama masa sidang tersebut diperdebatkan hal-hal yang akan dicantumkan ke
dalam UUD, baik di dalam pembukaan maupun di dalam batang tubuhnya. Sidang itu
menghasilkan beberapa kategori seperti pernyataan tentang kemedekaan,
pembentukan negara dan struktur kenegaraan, perekonomian, hukum, dan pasal yang
melegalkan perubahan UUD sendiri. Meskipun begitu, dalam sidang itu pula tidak
dihasilkan beberapa hal yang seharusnya ada di dalam UUD. Sebagai contoh adalah
UUD yang dibentuk oleh BPUPKI tidak mencantumkan secara konkret pasal tentang
pengaturan hak asasi manusia (HAM). Padahal, hal itu perlu diatur karena di
dalam pembukaannya dicantumkan pernyataan tentang HAM. Secara teori sendiri,
Mr. J.G. Steenbeek mengemukakan bahwa seharusnya konstitusi suatu negara berisi
tiga hal yang salah satunya adalah adanya penjaminan terhadap hak asasi manusia
terhadap warga negaranya. Karena itu, sudah selayaknya hal itu dikemukakan.
Selain permasalahan
tentang pengaturan HAM di dalam UUD 1945 bentukan BPUPKI, masih banyak masalah
lain yang perlu ditinjau lebih lanjut terhadap proses pembentukan konstitusi
tersebut seperti waktu kerja yang singkat. Karena itu, penulis mencoba
menganilisis hal ini di dalam sebuah artikel yang berjudul Tinjauan terhadap
Materi Muatan Undang-Undang Dasar 1945 yang Dibentuk oleh BPUPKI.
B.
PERSIDANGAN BPUPKI
Seperti diungkapkan
di atas, BPUPKI mengadakan sidang-sidangnya pada tanggal 29 Mei 1945 sampai
dengan tanggal 16 Juli 1945 untuk membentuk UUD. Sidang-sidang tersebut terbagi
dalam dua bagian. Sidang pertama diadakan pada tanggal 29 Mei 1945 sampai
dengan tanggal 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua pada tanggal 10 Juli 1945
sampai dengan tanggal 16 Juli 1945.
1.
Sidang Pertama BPUPKI (29 Mei 1945 - 1 Juni 1945)
Dalam sidang yang
pertama, Dr. KRT. Radjiman Wediodiningrat, Ketua BPUPKI, meminta kepada para
anggota agar menyampaikan pandangan-pandangannya tentang dasar-dasar negara Indonesia yang
akan datang. Pendapat-pendapat tentang politik dan tentang ketatanegaraan
dikemukakan dalam kesempatan ini. Para tokoh
pejuang kemerdekaan Indonesia
yang berasal dari berbagai latar belakang, duduk di dalamnya dan begitu
bersemangat membahas tugas badan ini, khususnya mempersiapkan rancangan UUD
apabila Inonesia merdeka. Tokoh-tokoh yang mengemukakan pendapatnya antara lain
Ir. Soekarno, Mr. Muh. Yamin, dan Prof. Dr. Soepomo.[2] Di
samping itu, masih ada tokoh lain yang juga ikut berpendapat dalam sidang itu seperti
Drs. Moh. Hatta.[3]
Dalam sidang pertama
ini, Ir. Soekarno mengemukakan pidato yang kemudian menjadi pelopor lahirnya
pancasila pada tanggal 1 Juni 1945. Untuk menanggapi permintaan Ketua Sidang
BPUPKI tentang dasar Indonesia Merdeka, dia terlebih dahulu menjelaskan arti
perkataan “merdeka”. Menurut pendapatnya, “merdeka adalah “political
independence” yang tidak lain merupakan jembatan emas dengan disempurnakan masyarakat
Indonesia.[4] Ir.
Soekarno menyatakan sebagai berikut.
“Saudara-saudara sekalian, kita telah
bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, -macam-macam-,
tetapi alangkah benarnya perkataan Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes
Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persatuan paham. Kita bersama-sama
mencari “persatuan philosophische
grondslag, mencari satu
Weltanschauung” yang kita semuanya
setuju. Saya katakan lagi setuju!
Yang saudara Yamin setujui, yang saudara Ki Bagoes setujui, yang saudara Ki
Hadjar setujui, yang saudara Sanusi setujui, yang saudara Abikoesno setujui,
yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.
Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang
kita bersama-sama setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya
apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk
sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang
namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu
orang, untuk memberi kekayaan kepada satu golongan kaya, untuk memberi
kekuasaan kepada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah
tentu tidak!
Baik saudara-saudara yang bernama kaum
bang-sawan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya
tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang
kaya. Tetapi “semua buat semua” itulah salah satu dasar pemikiran yang nanti
akan saya kupas lagi”.[5]
Setelah itu, Ir.
Soekarno mengemukakan serta menjelaskan dasar negara Indonesia yang dimaksud dan yang
terdiri atas lima
sila :
- kebangsaan Indonesia;
- internasionalisme atau perikemanusiaan;
- mufakat atau demokrasi;
- kesejahteraan sosial;
- ke-Tuhanan yang berkebudayaan.
Setelah sidang
pertama berakhir, Ketua BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil dengan Ir.
Soekarno sebagai ketuanya.[6]
Tugas panitia tersebut adalah meneliti dan mempelajari usul-usul yang
disampaikan oleh para anggota, melakukan inventarisasi, dan menyusunnya. Hasil
laporan ini disampaikan dalam permulaan sidang kedua yang dimulai pada tanggal
10 Juli 1945. dalam laporan itu juga dikemukakan “rancangan pembukaan” yang
dihasilkan oleh Panitia Sembilan, yang oleh Muh. Yamin diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dan oleh Dr.
Soekiman disebut gentlement agreement.
Piagam Jakarta tersebut ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 1945.
Hasil penelitian panitia kecil tersebut
meliputi pokok-pokok masalah :
- permintaan Indonesia merdeka segera;
- tentang dasar negara;
- masalah unifikasi dan federasi;
- bentuk pemerintah dan kepala negara;
- tentang warga negara;
- masalah pemerintahan di daerah;
- masalah agama dalam hubungannya dengan negara;
- masalah pembelaan; dan
- masalah keuangan.[7]
Sesuai dengan
pokok-pokok masalah yang telah disusun oleh panitia kecil, diusulkan agar BPUPKI
mengambil keputusan terhadap empat hal :
- penetapan bentuk negara dan penyusunan Hukum Dasar Negara;
- meminta kepada Pemerintah Jepang untuk segera mengesahkan Hukum Dasar;
- meminta kepada Pemerintah Jepang agar diadakan Badan Persiapan segera yang tugasnya menyelenggarakan Negara Indonesia Merdeka di atas Hukum Dasar yang telah disusun;
- tentang pembentukan tentara kebangsaan dan tentang keuangan.[8]
Atas laporan tersebut, Ketua BPUPKI meminta
kepada para anggota untuk memberi pandangan umumnya. Setelah itu, dilakukan
pemungutan suara terhadap dua hal :
- apakah akan dianut bentuk pemerintah republik atau kerajaan;
- bagaimana batas wilayah negara Indonesia.
2.
Sidang Kedua BPUPKI (10 Juli 1945 - 16 Juli 1945)
Pada sidang kedua
BPUPKI, ketua membentuk tiga buah panitia sebagai kelanjutan pemandangan umum
tanggal 10 Juli 1945. Panitia tersebut terdiri atas panitia perancang UUD,
panitia pembelaan tanah air, dan panitia keuangan dari perekonomian.[9]
Panitia perancang UUD mengadakan rapatnya pada tanggal 11 dan 13 Juli 1945.
Dalam rapat pertama dihasilkan keputusan membentuk panitia perancang Declaration of rights yang terdiri atas
Mr. A. Subardjo (ketua), Dr. Soekiman, dan parade Harahap masing-masing sebagai
anggota. Di samping itu, dibentuk pula panitia kecil perancang UUD yang
diketuai oleh Prof. Supomo. Panitia kecil ini mengadakan rapatnya pada tanggal
12 Juli 1945. Pada akhirnya, panitia kecil berhasil menyusun naskah rancangan
UUD.
Naskah Rancangan UUD
dibahas dalam rapat panitia perancang UUD yang diselenggarakan pada tanggal 13
Juli 1945. Akan tetapi, Naskah Rancancangan UUD hasil panitia perancang
ternyata tidak memuat ketentuan perubahan UUD. Meskipun begitu, tetap ada pemikiran
untuk memasukkan ketentuan perubahan UUD di dalam naskah. Sebagai bukti adalah
adanya pidato Mr. S. Kolopaking[10]
dalam sidang Paripurna BPUPK pada tanggal 11 Juli 1945.
Ada tiga hal yang
dikemukakan oleh S. Kolopaking, yaitu
- UUD sebaiknya jangan terlalu panjang;
- UUD dapat disesuaikan dengan zaman;
- UUD harus mudah diubah.
Materi muatan tentang
perubahan undang-undang dasar juga dikemukakan oleh Mr. Iwa Kusumasumantri yang
menyatakan sebagai berikut.
“Tuan-tuan
yang hadir semua, yang terhormat! Berhubung pernyataan dari pimpinan, maka
benarlah bahwa ini adalah suatu undang-undang dasar kilat. Akan tetapi,
meskipun demikian ada syarat-syarat dari suatu undang-undang dasar, yang tidak
boleh kita lupakan. Nanti saya kemukakan beberapa pasal, yang saya harap tidak
akan menimbulkan perbantahan, karena maksudnya ialah untuk sedikit memperbaiki
bangunannya saja.
Salah satu perubahan
yang saya tambahkan, yang saya usulkan, yaitu tentang perubahan undang-undang dasar. Di sini belum
ada artikel tentang perubahan undang-undang dasar dan itu menurut pendapat saya
masih perlu diadakan.”
Pada
tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI melanjutkan sidang paripurnanya. Dalam sidang ini,
panitia perancang UUD menyampaikan hasil kerjanya. Laporan tersebut
disampaikan, baik oleh panitia perancang maupun oleh panitia kecil perancang
UUD.[11]
Setelah melalui serangkaian sidang untuk membahas rancangan UUD itu, BPUPKI
menerima dan menyetujui rancangan tersebut pada tanggal 16 Juli 1945.[12]
C.
ANALISIS PERSIDANGAN BPUPKI
Jika melihat jalannya
persidangan BPUPKI dalam membentuk UUD, akan melihat suatu persidangan dengan penuh
perdebatan. Secara umum, perdebatan tersebut terbagi atas dua golongan besar,
yaitu golongan kebangsaan (nasionalis sekuler) dan golongan Islam (nasionalis
religius).[13]
Golongan-golongan tersebut menyertakan ideologi masing-masing untuk diterima ke
dalam naskah rancangan UUD. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah seberapa
jauh pemikiran-pemikiran yang mereka keluarkan mampu mengakomodasi kehendak
seluruh rakyat Indonesia.
Seperti yang
dikatakan oleh Ir. Soekarno di atas bahwa sasaran pendirian sebuah negara
adalah “semua buat semua”. Hal ini berarti materi muatan yang terdapat di dalam
konstitusi suatu negara harus mampu menyatukan atau mampu mengakomodasi
kehendak seluruh rakyat, termasuk bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan hal
tersebut, A.A.H. Struycken mengatakan bahwa undang-undang dasar (grondwet)
sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi :[14]
- hasil perjuangan politik bangsa pada waktu yang lampau;
- tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
- pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
- suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Apabila
teori yang dikemukakan oleh Struycken tersebut dikaitkan dengan pernyataan Ir.
Soekarno tentang sasaran pendirian suatu negara, dapat dikatakan bahwa
pernyataannya merupakan suatu pandangan seorang tokoh bangsa yang hendak diwujudkan.
Dengan kata lain, pada hakikatnya, pernyataan Ir. Soekarno bukanlah kehendak
keseluruhan rakyat Indonesia.
Akan tetapi, hal itu dapat berubah seiring dengan keikutsertaannya sebagai salah satu tokoh dalam perumusan tersebut. Pandangan-pandangannya
secara otomatis mewakili kehendak rakyat meskipun mereka tidak mengetahuinya.
Sebagai contoh adalah diterimanya gagasan tentang dasar negara Indonesia yang
dikemukakan oleh Ir. Soekarno dengan perincian isi seperti kebangsaan
Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan. Dalam hal ini,
ideologi Soekarno tentang demokrasi dan sosialisme mengiringi pendapatnya.
Seperti
dikatakan di bagian sebelumnya, persidangan pertama BPUPKI juga membicarakan
bentuk yang tepat untuk pemerintahan dan batas wilayah negara Indonesia.
Mengenai hal ini, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa setiap undang-undang dasar
memuat ketentuan-ketentuan :
1. organisasi negara, misalnya, pembagian
kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur
menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah
dan sebagainya.
2. hak-hak asasi manusia.
3. prosedur mengubah undang-undang dasar.
4. adakalanya memuat larangan untuk mengubah
sifat tertentu dari undang-undang dasar.[15]
Poin
pertama pendapat Miriam Budiardjo di atas dapat dijadikan suatu landasan dicantumkannya
bentuk pemerintahan di dalam UUD 1945. Dalam hal ini, memang sudah selayaknya
UUD 1945 memuat ketentuan bentuk pemerintahan agar tidak terjadi penyimpangan
birokrasi. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
ketentuan-ketentuan tentang bentuk pemerintahan di dalam UUD 1945 tersebut
mampu memberikan arahan secara nyata terhadap pelaksanaan suatu pemerintahan
dan birokrasi. Sebaliknya, pengaturan yang tidak tegas tentang ketentuan bentuk
pemerintahan akan mengakibatkan kerancuan dalam menilai apa-apa saja yang dapat
dilakukan terhadap pemerintahan tersebut. Selain itu, pengaturan yang tidak
konkret antara kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat
menimbulkan persinggungan kekuasaan yang pada akhirnya mengurangi legitimasi
kekuasaan pemerintah pusat. Karena itu, konstitusi perlu mengaturnya secara
tegas dan jelas.
Dalam
sidang kedua BPUPKI, yang menjadi pokok pembahasan adalah tentang
dicantumkannya pasal-pasal perubahan UUD 1945. Selain itu, dibahas pula
efektivitas UUD agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Pembahasan
mengenai harus adanya pasal yang mengatur perubahan UUD 1945 disampaikan oleh
beberapa tokoh, salah satunya adalah Mr. S. Kolopaking. Seperti dikatakan di
bagian sebelumnya bahwa beliau menjelaskan tiga hal sebagai argumen, yaitu UUD sebaiknya
jangan terlalu panjang, UUD dapat disesuaikan dengan zaman, dan UUD harus mudah
diubah. Berkaitan dengan ini, K.C. Wheare mengatakan bahwa sifat yang khas dan
mendasar dari bentuk konstitusi yang terbaik adalah konstitusi itu harus dibuat
sesingkat mungkin untuk menghindarkan keulitan-kesulitan para pembentuk UUD
dalam memilih mana yang penting dan harus dicantumkan dalam konstitusi dan mana
yang tidak perlu pada saat mereka akan merancang suatu UUD sehingga hasilnya
akan dapat diterima, baik oleh mereka yang akan melaksanakan maupun pihak yang
akan dilindungi oleh UUD tersebut.[16]
Jika
menilik pendapat K.C. Wheare tersebut, dimungkinkan bahwa pemikiran S. Kolopaking dapat dibenarkan. Akan tetapi, secara
fakta, suatu konstitusi yang singkat justru dapat menimbulkan masalah,
khususnya terhadap pihak yang dilindungi oleh UUD tersebut. Suatu konstitusi
yang singkat dapat menimbulkan kesalahan tafsir terhadapnya, bahkan dapat
menyebabkan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Penguasa akan mudah mengenakan
sanksi kepada warga negaranya dengan alasan melindungi dan menyelamatkan UUD
dari penistaan dan pemberontakan. Sebagai contoh adalah peristiwa-peristiwa
politik yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada saat itu, Soeharto sebagai
pemimpin tertinggi dalam pemerintahan eksekutif, melalui kroni-kroninya, dapat
memenjarakan, bahkan “menghilangkan” seseorang yang dianggap melawan
kaidah-kaidah UUD 1945. Hal itu, berlangsung terus-menerus sehingga menimbulkan
kecurigaan di kalangan para tokoh dan pemnerhati politik. Bahkan, spekulasi
bermunculan dengan adanya pendapat bahwa itu merupakan strategi penguasa saat
itu untuk melanggengkan kekuasaan.
Berkaitan dengan
pernyataan pertama S. Kolopaking tersebut, Sri Soemantri juga berpendapat bahwa
alasan anggota BPUPKI tersebut untuk mengusulkan hal itu kurang jelas karena
yang dikemukakan tidak disertai dengan alasan-alasan. Kemungkinan sekali karena
pembentukan undang-undang dasar itu terjadi dalam suasana peperangan. Di
samping itu, ada keinginan untuk selekasnya merdeka.[17]
Pendapat
kedua S. Kolopaking bahwa UUD dapat
disesuaikan dengan zaman dapat dimengerti. Hal ini karena yang dituangkan ke
dalam UUD tidak terlepas dari suasana pada waktu para pembentuknya hidup.
Apalagi, yang disusun adalah hukum dasar tertulis. Karena adanya bermacam-macam
faktor yang memengaruhi masyarakat, manusia selalu berkembang dan berubah.
Dalam hal demikian, timbul hubungan-hubungan baru. Hal ini menyebabkan
diperlukannya lembaga-lembaga baru yang sudah tentu harus dijelaskan di dalam UUD.
Sementara itu,
pendapat ketiga S. Kolopaking bahwa UUD harus mudah diubah tidak dijelaskan
lebih lanjut olehnya. Dengan kata lain, apakah berkaitan dengan prosedur
perubahan atau adanya kemungkinan UUD dapat diubah. Akan tetapi, sesuai dengan
pendapat Miriam Budiardjo, pengubahan terhadap UUD 1945 tidak boleh mengubah
sifat-sifat tertentu dari UUD tersebut seperti kaidah-kaidah dasarnya. Hal ini
dapat dimengerti karena peruahan terhadap sifat-sifat tertentu yang sudah
menjadi pokok di dalam suatu negara akan mengubah garis besar arah bangsa yang
bersangkutan.
Selain
pembahasan mengenai hal-hal di atas, sidang BPUPKI juga mengetengahkan
pembahasan hak-hak dasar seseorang. Akan tetapi, pembahasan ini hanya tercakup
di dalam pembukaan, yaitu yang berbunyi “…penjajahan di atas dumia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan da perikeadilan.”
Sementara itu, pengaturannya di dalam batang tubuh UUD 1945 itu sendiri tidak
konkret. Hal ini bertentangan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa
ahli yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi juga harus mencakup
penjaminan terhadap hak asasi manusia (HAM). Tidak hanya pernyataan di dalam
pembukaan, tetapi juga pengaturannya di dalam batang tubuh harus ada. Hal ini
dapat menjadi bukti bahwa suatu negara benar-benar telah secara resmi mengakui
dan menghormati HAM dengan benar. Sebagai bukti tidak diaturnya HAM secara
jelas di dalam UUD 1945 sebelum amandemen ini adalah menyangkut pasal 28. Pasal
itu menyebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan, diatur dengan undang-undang. Pernyataan pasal
tersebut tidak memperlihatkan pengaturan secara tegas dan tidak menunjukkan
adanya suatu hak yang asasi untuk seseorang. Karena itu, setelah reformasi,
pasal tersebut diubah dan ditambah beberapa pasal dan ayat yang dapat mengatur
secara tegas tentang HAM.
Selain jalannya sidang BPUPKI, penulis juga
ingin mengomentari waktu pelaksanaan sidang yang berlangsung hanya 49 hari.
Penulis berpendapat bahwa waktu pelaksanaan sidang BPUPKI untuk menyusun dan
membentuk rancangan UUD yang hanya 49 hari merupakan salah satu kendala dalam
menetapkan materi muatan yang baik dengan benar sesuai pemahaman arah bangsa.
Sebagai perbandingan adalah konstitusi Amerika Serikat (AS) yang dibuat dalam
tempo kurang lebih sebelas tahun sejak merdeka pada tanggal 14 Juli 1776.
Konstitusi tersebut baru terbentuk dan sah pada tanggal 1 Maret 1787. Dengan
waktu yang sangat lama itu, AS mampu menyusun konstitusi yang mampu
menyeimbangkan kekuasaan pemerintahan federal dan pemerintahan negara bagian.
Perbandingan lain adalah konstitusi Uni Sovyet yang dibentuk dalam tempo 10
bulan sejak jatuhnya kekuasaan Tsar, yaitu 14 September 1917 – 10 Juli 1918.[18]
Lamanya waktu pembuatan
memang bukanlah faktor utama terbentuknya aturan-aturan konstitusi yang baik.
Akan tetapi, ketika dalam pembuatan konstitusi tersebut terdapat waktu yang
mencukupi, para pementuknya akan dapat memanajemen atau pun mengatur secara
sistematis tentang hal-hal yang perlu dicantumkan dalam konstitusi tersebut.
Dengan begitu, masa berlaku konstitusi akan menjadi lebih lama dan ideal.
D.
PENUTUP
Konstitusi merupakan
suatu keniscayaan yang harus ada dalam suatu negara. Hal ini karena suatu
negara tidak akan dapat berdaulat secara resmi dengan pengakuan dari dunia
internasional apabila tidak ada ketentuan yang spesifik mengaturnya. Dalam hal
adanya suatu konstitusi di dalam sebuah negara, tidak terlepas pula materi
muatan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, semakin benar materi muatan
yang didapat di dalam UUD, semakin baik ketaaan terhadap UUD tersebut.
Di Indonesia, pembentukan
UUD 1945 awal kemerdekaan dilakukan oleh BPUPKI. Badan tersebut melakukannya
dalam dua kali sidang, yaitu pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 dan pada tanggal
10 Juli - 16 Juli 1945. Selama masa persidangan tersebut diperdebatkan hal-hal
apa saja yang akan dicantumkan dalam UUD. Namun, perdebatan tersebut tidak
terlepas adanya pengaruh ideologi yang diusung oleh para tokohnya. Bentuk
negara, struktur kenegaraan, perubahan UUD, dan masalah HAM menjadi pokok dalam
sidang-sidang tersebut. Khusus permasalahan HAM, ternyata tidak ada pasal yang
menyatakannya secara tegas. Hal itu, menjadi konflik di dalam penyelenggaraan negara
pada masa itu karena rakyat tidak mendapatkan perlindungan melalui UUD.
Sebaliknya, materi muatan di dalam UUD 1945 sebelum amandemen tersebut justru
menjadi alat penguasa untuk mencitrakan kekuasaannya. Para ahli hukum
berpendapat bahwa penyalahgunaan dalam menafsirkan materi muatan UUD 1945 itu
lebih disebabkan isinya yang terlalu singkat dan tidak tegas. Isi yang terlalu
singkat ini ternyata dilatarbelakangi waktu persidangan yang singkat yang
diberikan untuk merumuskan sumber hukum tertinggi di Indonesia tersebut. Dengan
demikian, menimbulkan salah tafsir atau pun penafsiran secara sepihak oleh
penguasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Soemantri, Sri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945,
Alumni, Bandung, 2006.
Wheare, K.C., Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975.
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna Respons
Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966 – 1993),
Yogyakarta, 1999.
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991.
Taib, Dahlan dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Idris, Irfan, Islam dan Konstitusionalisme, antonyLib, Yogyakarta, 2009.
Bahar, Saafroedin (tim penyunting), Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI,
Sekretariat Negara R.I., 1995.
Yamin, Muh., Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, 1959.
[1]
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD
1945, Alumni, Bandung, 2006, hlm 30 – 31.
[2]
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, 1959, hlm. 59.
[3]
Muh. Yamin, ibid, hlm. 110.
[4]
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD
1945, Alumni, Bandung,
2006, hlm 31.
[5]
Sri Soemantri, ibid, hlm. 31 – 32.
[6]
Muh. Yamin, ibid, hlm. 147.
Anggota-anggota panitia kecil terdiri atas Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta,
Sutardjo, Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Mr. Muh.
Yamin, dan Mr. A.A. Maramis.
[7]
Sri Soemantri, ibid, hlm. 33 – 34.
[8] ibid, hlm. 34.
[9]
Muh. Yamin, ibid, hlm. 250 – 254.
Ketiga panitia tersebut diketuai masing-masing oleh Ir. Soekarno, Tjokrosujoso,
dan Drs. Moh. Hatta.
[10]
Muh. Yamin, ibid, hlm. 217 – 218.
[11]
Sri Soemantri, ibid, hlm. 37 – 38.
Dalam kesempatan ini telah berbicara 27 orang tokoh pergerakan kemerdekaan,
baik dari golongan kebangsaan, golonan Islam, maupun golongan lain. Setelah
mengalami suasana “panas” selama tiga hari sidang, 14 – 16 Juli 1945, Ketua
BPUPK menyatakan bahwa Naskah Rancangan Undang-Undang Dasar dengan perubahannya
diterima oleh sidang.
[12]
Uraian lengkap pembahasan dalam rapat BPUPKI dapat dibaca dalam Saafroedin
Bahar, (tim penyunting), 1995, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat
Negara R.I., hlm. 3 – 401.
[13]
Masykuri Abdillah, 1999, Demokrasi di
Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi
(1966 – 1993), Yogyakarta : Tiara Wacana
Yogya, hlm. 32.
[14]
Sri Soemantri, ibid, hlm. 2.
[15]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 101.
[16]
Dahlan Taib dkk., Teori dan Hukum
Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 18.
[17]
Sri Soemantri, ibid, hlm. 36 – 37.
[18] ibid, hlm. 13 – 15.
Langganan:
Postingan (Atom)